Renungan Ramadhan

*Renungan Pribadi Seorang Muslim yang Awam*
Cholil Ubaidillah - 0817133358
Cibubur, 15 Ramadhan 1437H

Momen bulan Ramadhan yang penuh berkah, ampunan dan dibukanya pintu-pintu surga yang dibarengi ditutupnya pintu-pintu neraka, semoga senantiasa menjadikan motivasi tersendiri bagi kita semua umat muslim untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan (fastabiqul khairat), semata-mata mengharap ridha Allah jalla jalaaluh. Sholawat dan salam senantiasa kita tujukan kepada rasul penutup para nabi (khatamul ambiya) Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam.

Alhamdulillah, ada fenomena cukup menarik yang terjadi di berbagai belahan bumi pada umumnya dan Indonesia pada khususnya bahwa akhir-akhir ini terasa di masjid-masjid makin banyak orang yang rajin sholat berjama’ah rawatib 5 waktu, tepat waktu dan di awal waktu. Sepertinya sama-sama merasa bahwa akhir zaman makin dekat..di saat yang bersamaan dimana-mana tingkat kejahatan dan kemaksiatan juga makin meningkat. Jadi memang sudah pas sebagai salah satu pertanda makin dekatnya hari kiamat.

Dalam tatanan politik kenegaraan di Indonesia, kita juga dapat melihat bahwa pemerintah yang sekarang makin menampakkan ketidakberpihakannya pada umat muslim dengan kebijakan-kebijakan yang tidak adil dan berkeadilan. Kasus terakhir simpati yang keblablasan dan tidak tepat sasaran atas razia satpol PP setempat terhadap salah satu warung makan milik seorang pemilik 3 warteg di Serang (Banten) yang bersuamikan seorang mafia judi dan diindikasikan berita yang ditayangkan gencar oleh salah satu media ternama di Indonesia bernuansa sengaja menyerang umat muslim di Indonesia. Padahal sebelumnya aturan pemberlakuan jam buka warung makan selama bulan Ramadhan di sana sudah jelas dan tidak ada masalah, tetapi ini ada oknum pemilik warung yang tidak taat aturan, kenapa justru diberikan simpati yang malah kesannya berlebihan? Apa jadinya kalau orang-orang yang taat aturan (termasuk menaati syariat agama Islam) harus menghormati  orang yang melanggar aturan?? Bagaimana kalau dibalik jika hal tersebut terjadi di Bali misalnya, Bandara Ngurah Rai tidak usah ditutup pada saat hari raya Nyepi? Atau di mal-mal tidak usah pasang pohon cemara dengan segala aksesorinya pada saat hari raya Natal? Kalau sudah begini, sikap adil dan toleransinya ditaruh dimana? Sudah dipindah dari otak dan hati ke dengkul ya? Ujung-ujungnya makin kentara kemana arah kebijakan selanjutnya, karena direncanakan banyak perda-perda bernuansa syariat Islam yang akan dicabut.

Sebagai seorang muslim, saya pun merasa geram terhadap hal-hal yang sensitif seperti ini. Adapun jika ada saudara-saudaraku yang mengaku muslim tapi ikut-ikutan menaruh simpati terhadap orang seperti pemilik warung yang bandel tersebut, coba pertanyakan pada diri anda sendiri..sudah dikemanakan iman dan Islam anda? Saya salut dan bangga atas sikap Front Pembela Islam (FPI) yang mampu melakukan protes secara elegan dan tegas dengan mendatangi kantor pusat media ternama tersebut, sebagaimana mungkin sudah anda saksikan rekamannya di you tube. Tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan serta semua alasannya logis dan benar (shahih).

Terhadap pemerintah yang sekarang, kita sama-sama doakan saja agar mendapatkan hidayah Allah jalla jalaaluh, kembali ke jalan yang benar..sambil tetap kita sama-sama memberikan kritik dalam kerangka menasehati kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi munkar) sesuai kapasitas masing-masing. Sebagai muslim, tegaknya kembali khilafah Islamiyah memang itulah yang selalu kita dambakan..tetapi sesuai sunnah Rasulullah kita tidak boleh berontak atau melakukan makar terhadap pemerintahan (muslim) yang sah meskipun pemerintahannya bersikap dzalim, karena mudharatnya pasti akan lebih besar daripada manfaatnya. Janganlah kita menjadi seperti kaum Khawarij yang awalnya gencar melakukan demo-demo sampai akhirnya memberontak dan bahkan membunuh khalifah 'Utsman bin 'Affan dan 'Ali bin Abi Thalib. Itulah yang terjadi di Mesir, yang mana ada organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpemikiran Khawarij, melawan rezim militer yang dzalim, saling bergantian menggulingkan pemerintahan masing-masing, dari mulai tergulingnya Presiden Husni Mubarak pada tahun 2011 hingga sekarang belum juga selesai krisis politik di sana.

Waspadailah pemikiran-pemikiran kaum Khawarij dan Mu'tazilah yang mudah sekali mengkafir-kafirkan saudara sesama muslim dan akan terus hidup hingga akhir zaman, sebagaimana juga kita harus waspada terhadap bahaya Syi'ah (yang dipelopori oleh seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba', pada zaman khalifah 'Utsman bin 'Affan), Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat yang lain. Waspadalah juga terhadap pemikiran-pemikiran kaum sekuler yang sebagiannya masih menisbatkan diri sebagai bagian dari umat Islam Indonesia dengan menamakan diri "Jaringan Islam Liberal" (JIL..atau jangan-jangan sebenarnya "Jaringan Iblis Lokal"?:-p) dan "Jaringan Islam Nusantara" (JIN..temannya iblis juga..:-p), yang menjadi salah satu pendukung utama pemerintahan sekarang.

Nahdlatul Ulama (NU) sendiri sebagai ormas Islam terbesar di negeri ini sekarang dipimpin oleh seorang kyai yang banyak mengeluarkan pernyataan/ pemikiran yang bisa dibilang 'keblinger', lebih berafiliasi terhadap golongan Syi'ah, sehingga makin jauh dari semangat Khittah 1926. Oleh karenanya sekarang muncul 'kubu tandingannya' yang menamakan diri sebagai "NU Garis Lurus".

Sebagai kaum muslim sebenarnya hanya 1 kyai yang wajib kita taati dalam menjalankan kehidupan kita sehari-hari, terutama dalam ritual ibadah, yaitu siapa lagi kalau bukan sang pembawa risalah agung agama Islam yang murni Muhammad Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam. Entah itu kyai/ syech dari NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, Al Irsyad, Jama'ah Tabligh atau apapun alirannya, kalau fatwanya tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur'an dan hadits shahih, maka tidak boleh kita ikuti (jadikan sebagai hujjah). Imam Syafi'i sendiri menyatakan dalam kitabnya "Al Umm", bahwa "Jika ada pendapat/ fatwaku yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah (hadits shahih) maka tinggalkanlah."

Hanya 3 generasi setelah Rasulullah wafat yang masih mungkin kita jadikan rujukan maupun hujjah terhadap urusan-urusan agama yaitu 4 orang Khulafaur Rasyidin, Tabi'in (para sahabat yang masih sempat berjuang bersama Rasulullah semasa hidup) dan Tabi'ut Tabi'in (satu generasi para sahabat setelah Tabi'in dan sudah tidak bertemu langsung dengan Rasulullah). Sedangkan 4 imam utama yang akhirnya melahirkan madzab-madzab dalam Islam (Maliki, Syafi'i, Ahmad bin Hambal dan Abu Hanifah) saja lahir dan hidup setelah berakhirnya era generasi Tabi'ut Tabi'in. Madzab-madzab itupun mempunyai korelasi secara langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dan kepentingan politik penguasa/ khalifah yang berkuasa pada masa masing-masing keempat imam tersebut hidup.

Ketiga generasi setelah Rasululullah wafat itulah yang termasuk sebagai para ulama terdahulu (shalafush shalih). Nah, menjadi tugas kita semua sebagai muslim untuk selalu dan selalu berusaha mencari ilmu dalam agama Islam agar murni sesuai pemahaman para shalafush shalih, sehingga juga sesuai dengan perintah Allah jalla jalaaluh dalam Al Qur'an Surat Al Baqarah ayat 208, untuk dapat menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh/ totalitas (kaffah).

Hujjah yang patut diambil contoh dari Al Qur'an dan As Sunnah (hadits shahih) adalah dalam urusan agama (tauhid, fiqih, syariah dan muamalah). Sedangkan masalah perkembangan dunia teknologi bisa kita ambil manfaatnya, disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya. Sekarang berangkat ibadah haji bisa naik pesawat udara, zaman Rasulullah dan shalafush shalih naik unta..lantas itu kita jadikan hujjah bahwa ketika berangkat haji tidak boleh naik pesawat udara dan harus naik unta? Tentunya pemahaman analogi seperti itu tidaklah tepat. Ingatlah bahwa hukum dasar suatu ritual ibadah adalah haram dilakukan sampai ada perintah/ contoh dari Rasulullah dan 3 generasi shalafush shalih. Jadi jika suatu ritual ibadah itu memang baik dan mendatangkan kebaikan, tentu sudah lebih dulu dilakukan oleh para ulama shalafush shalih. Sebaliknya dalam hal apapun di luar ritual ibadah dasar hukumnya adalah boleh (mubah) sampai ada larangan yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan atau mendatangkan mudharat baik diri sendiri maupun orang lain.

Contoh lain, zaman sekarang kemana-mana bisa naik sepeda/ motor/ mobil, hukum asalnya ya boleh (mubah)..akan berubah jadi berpahala jika diniatkan dan digunakan sebagai sarana penunjang ibadah, sebaliknya akan berubah jadi berdosa (haram) jika diniatkan dan digunakan untuk melakukan kejahatan misalnya. Demikian pula dengan radio/ televisi/ internet/ bentuk-bentuk media yag lain. Sedangkan untuk hal-hal yang dianggap meragukan (syubhat) seperti merokok, zaman Rasulullah dan shalafush shalih memang belum ada rokok, tetapi rasanya kita semua sepakat (termasuk non muslim pun), bahwa merokok hampir tidak ada manfaatnya dan justru hanya mendatangkan mudharat bagi diri sendiri dan orang lain. Fakta itu didukung pula oleh hasil penelitian para ahli di bidang kesehatan, sehingga pabrik rokok pun mencantumkan peringatan keras di setiap kemasan rokok. Jadi untuk kasus merokok, jika memang kita merasa sebagai muslim yang taat, maka seharusnyalah kita menghukuminya sebagai sesuatu yang haram dan wajib ditinggalkan. Nah, kalau yang jelas-jelas diharamkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah seperti berzina, berjudi, minum minuman keras dan makan daging babi, masih juga ada saudara muslim yang melakukannya atau sekedar mendukung kebijakan pemerintah yang sekuler dan mencoba menukar-nukar hukum sesuatu yang haram bisa dijjadikan sesuatu yang syubhat atau bahkan jadi halal dan dilegalkan, apakah masih pantas menganggap dirinya sendiri sebagai muslim?

Untuk urusan ritual ibadah dalam agama Islam (tauhid, fiqih, syariah dan muamalat) sudah lengkap disampaikan oleh Rasulullah dan demikian pula telah dipahami secara sempurna oleh 3 generasi shalafush shalih, kita tinggal mencontoh saja. Apakah kita berani mengatakan bahwa syariat agama Islam ini masih perlu penyempurnaan dengan menambah atau menguranginya, menyatakan bahwa hal ini dan hal itu sudah menjadi tradisi nenek moyang, apalagi kalau tradisinya bersifat lokal? Padahal Islam dan syariat-syariatnya sendiri sudah sempurna sebagaimana makna dari Al Qur'an Surat Al Maidah ayat 3? Seharusnya pulalah Islam itu bersifat universal dan satu, dimanapun syariat-syariatnya ditegakkan. Sedangkan perbedaan-perbedaan yang timbul setelah generasi shalafush shalih mungkin itu memang bisa dianggap sebagai perbedaan furu'iyyah, tetapi semua 4 imam madzab (Maliki, Syafi'i, Hambali dan Hanafi) pun sepakat bahwa jika menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah maka tinggalkanlah fatwa/ pendapat mereka.

Pada hakikatnya tidak ada itu istilah "Islam Nusantara" (istilah ini justru didengung-dengungkan oleh ketua PBNU yang sekarang), tidak ada "Islam Singapura", tidak ada "Islam Brunei", bahkan juga tidak ada "Islam Saudi Arabia". Apalagi Islam Liberal yang jelas-jelas sekuler, atau Syi'ah yang mengaku sabagai bagian dari Islam padahal sejatinya grand design Yahudi-Illuminati untuk menghancurkan Islam. Sebagaimana juga kita jangan sampai terjebak dalam Islam NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, Al Irsyad, Jama'ah Tabligh dan lain-lain. Atau bahkan Islam Imam Maliki, Islam Imam Syafi'i, Islam Imam Hambali dan Islam Imam Hanafi. Islam itu satu dan bersifat universal, yaitu Islam yang telah Rasulullah ajarkan dan contohkan serta sesuai dengan pemahaman para shalafush shalih. Bukan Islam seperti pemahaman Abu Bakr Al Baghdadi yang akhirnya memimpin gerakan "Islamic State of Iraq and Syiria" (ISIS, yang sebenarnya juga grand design Yahudi-Illuminati untuk menghancurkan citra Islam yang damai dan membawa rahmat bagi seluruh alam). Bukan pula seperti apa yang diperjuangkan oleh Al Qaeda dan pemahaman para ustadz yang beraliran Khawarij dan Mu'tazilah, sehingga para pengikutnya seenak udelnya meledakkan bom bunuh diri dan menebar teror dimana-mana. Naudzubika min dzalik..

Semoga damai Indonesiaku, jaya dan tegaklah agama Islam di bumiku..aamiin..

*Wallahu a'lam bish showab..semoga bermanfaat*

Comments

Popular posts from this blog

Cerita dibalik Doa Akasah

Kosa kata bahasa Jawa yang sangat kaya

Cara mensikapi bencana alam